Sebagai akhir dari perjalanan spiritual Ramadhan, Allah swt., mensyariatkan Shalat Sunnah Idul Fitri. ‘Ied berarti hari raya dan juga seakar dengan makna kata “kembali.” Fitri berarti “suci”, “berbuka”, dan “awal penciptaan”. Merayakan Idul F itri berarti merayakan kesucian diri, kembali ke awal penciptaan seperti bayi yang baru lahir. Idul Fitri juga berarti bergembira karena sudah boleh makan dan minum di siang hari bahkan dilarang berpuasa pada hari itu.
Hukum shalat Idul Fitri adalah sunnah mu’akkadah. Umumnya, shalat Idul Fitri lebih ramai dari shalat Jumat karena dihadiri juga oleh perempuan muslimah. Bahkan, muslimah yang dalam kondisi haid juga dianjurkan untuk menghadiri khotbah ‘Ied yang sunnah diadakan di lapangan terbuka.
Shalat Idul Fitri dilakukan sebanyak 2 (dua) rakaat dengan tata cara yang agak berbeda. Perbedaannya dengan shalat biasa adalah penambahan takbir sebanyak 7 (tujuh) kali di rakaat pertama dan 5 (lima) kali di rakaat kedua. Shalat ‘Ied juga dirangkai dengan khotbah. Bedanya dengan shalat Jumat adalah khotbah pada shalat ‘Ied dilakukan setelah pelaksanaan 2 rakaat shalat ‘Ied.
Dalam kondisi
pandemi Covid-19 ini, kemungkinan besar shalat dan khotbah Idul Fitri tidak
dilaksanakan di lapangan atau di masjid. Ini untuk menghindari penularan Covid-19.
Dalam kondisi seperti ini, Shalat ‘Ied dapat dilakukan di rumah sebanyak 4 (empat)
rakaat, bisa sendiri-sendiri (munfarid) atau berjamaah. Pendapat ini dipegangi
oleh Imam Ahmad dan al-Tsauri. Pendapat ini mengqiyaskan shalat ‘Ied seperti
shalat Jumat, dengan menganggap 2 (dua) khotbah sebagai pengganti 2 (dua) rakaat.
Adapun al-Syafi’i menyatakan bahwa pelaksanaan shalat ‘Ied secara sendirian dilakukan
hanya sebanyak 2 rakaat dengan bertakbir pada dua rakaatnya. Pendapat tidak
mengqiyaskan shalat ‘Ied sebagai shalat
Jumat.[]
Sumber : Fikih Pandemi di Masa wabah (NUO Publishing)